sumber gambar (vapemagz.co.id)

 

Ethirium – Peneliti Institute for Demographic Poverty Studies (IDEAS) Fajri Azhari mengatakan, industri rokok elektrik membutuhkan waktu lama untuk bisa berkompetisi dengan industri rokok konvensional yang sudah ada sejak zaman kolonial.

Menurut Fajri, tren peningkatan yang signifikan pada rokok elektrik atau vape saat ini sangat wajar, karena produk ini baru populer dalam beberapa tahun terakhir, terutama di kalangan remaja.

Walaupun pengguna vape bertambah setiap tahunnya, dia melanjutkan, masih dibutuhkan waktu yang lama untuk bisa menyaingi rokok konvensional. Apalagi, meski rokok elektrik semakin populer, pemerintah juga tidak melonggarkan aturan terkait penikmat rokok elektrik.

Berdasarkan UU Kesehatan yang baru, rokok elektrik masuk dalam kelompok tembakau alternatif yang berada dalam golongan produk yang mengandung zat adiktif, sebagaimana rokok konvensional.

Sementara itu, terkait upaya melindungi masyarakat berpenghasilan rendah, Fajri menyarankan, penggunaan rokok elektrik sebaiknya diarahkan untuk memenuhi kebutuhan segmen pasar menengah atas.

Selain itu, jika mengacu pada UU PPN (Pajak Pertambahan Nilai), rokok elektrik sebenarnya bisa dikenai PPnBM sebagaimana barang mewah. Tujuannya, untuk melindungi produsen kecil atau perusahaan rokok kretek tradisional, yang mengolah produknya secara manual.

Berdasarkan data dari Global Adult Tobacco Survey (GATS), pengguna rokok konvensional dan rokok elektrik sama-sama mengalami peningkatan. Jumlah perokok konvensional naik sebesar 14,6% atau 8,8 juta orang dalam sepuluh tahun terakhir, sehingga jumlahnya menjadi 69,1 juta perokok di tahun 2021.

Sedangkan jumlah pengguna rokok elektrik naik signifikan sebesar 40% dalam setahun terakhir menjadi 2,2 juta orang. Bagaimana dengan jumlah pelaku usahanya? Menurut Ketua Asosiasi Ritel Vape Indonesia (Arvindo) Fachmi K Firmansyah, jumlah pelaku usaha vape mencapai 5,000 pengusaha, termasuk di dalamnya toko ritel yang tersebar di seluruh Indonesia.

Dari industri rokok elektrik tersebut, jumlah tenaga kerja yang bisa diserap sebesar150 ribu-200 ribu orang. Adapun kontribusinya dalam membayar cukai mencapai Rp 1,02 triliun di tahun 2022 atau masih sangat jauh dibandingkan dengan cukai sebesar Rp 188,81 triliun, yang dibayar oleh perusahaan rokok konvesional.

Fajri melanjutkan jika jumlah pengusaha vape meningkat, jumlah perusahaan rokok konvensional justru menyusut, yaitu dari 4.793 perusahaan di tahun 2008 menjadi tersisa 700 perusahaan di tahun 2021. Ke-700 perusahaan itu mempekerjakan sebanyak 5,98 juta orang.

Fajri menilai, faktor utama penyebab menurunnya jumlah pabrik rokok itu dipengaruhi oleh kebijakan cukai yang terus meningkat dan fasilitas buruh di industri tembakau yang tidak terpenuhi. Seperti, buruk di pabrik rokok tidak memperoleh BPJS kesehatan dan ketenagakerjaan. Lalu, tidak ada peningkatan karier, dan insentif dari hasil memproduksi rokok yang relatif dibayar murah.